Dulu, para wanita penghibur berjejer di setiap rumah bordil dengan menggunakan kebaya khas pribumi. Tempat lokalisasi ini sudah berdiri sejak tahun 1838, dan kini sudah berusia 180 tahun.
Berdirinya tempat pelacuran ini berawal dari kisah seorang kembang desa penjual jamu keliling bernama asli Neng Sari Iteung. Gadis ini terkenal memiliki paras luar biasa cantik, siapapun yang meliriknya niscaya akan terpesona.
Tak terkecuali para bangsawan Belanda. Sangking tergila-gilanya, Neng Sari Iteung pun dijadikan gundik oleh seorang bangsawan Belanda. Sejak saat itu, gadis desa ini menjelma menjadi ‘Nyonya Belanda’. Namanya pun berubah menjadi 'Nyai Saritem'.
Dalam 'Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda' karya Reggie Bay, kata 'Nyai' sendiri berasal dari bahasa Bali. Penggunaan kata tersebut berawal ketika perempuan Bali mulai banyak dijadikan budak dan gundik oleh orang-orang Eropa di wilayah pendudukan VOC pada abad ke-17. Gundik adalah istilah sebutan untuk istri tak resmi/perempuan simpanan, atau perempuan yang difungsikan sebagai pelampiasan nafsu birahi.
Beberapa tahun kemudian, seorang pejabat Belanda meminta Nyai Saritem mencarikan wanita yang bisa diajak kencan untuk para serdadu Belanda yang masih lajang.
Kebetulan, pada saat itu daerah Gardujati memang merupakan markas militer Belanda. Nyai Saritem pun diberikan fasilitas sebuah rumah yang cukup besar untuk menampung para wanita nanti.
Tak disangka-sangka, ternyata wanita yang berminat untuk 'menemani' orang-orang Belanda itu terkumpul sangat banyak. Mereka datang dari berbagai daerah berbeda di Jawa Barat, seperti Sumedang, Cianjur, Garut, Cirebon, serta Indramayu.
Yang awalnya hanya bertujuan untuk menghibur para pemuda Belanda, lambat laun hal ini berubah menjadi bisnis yang menguntungkan.
Seiring berjalannya waktu, nama Nyai Saritem pun semakin terkenal di Kota Kembang ini, pria-pria hidung belang mulai ramai mendatangi tempat prostitusi milik Nyai Saritem.
Tidak hanya pemuda dan orang Belanda, prajurit yang sudah lanjut usia dan orang-orang pribumi pun kerap berkunjung untuk mencicipi 'jajanan' Nyai Saritem ini.
Melihat bisnisnya berkembang pesat dalam waktu singkat, teman-teman Nyai Saritem akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejaknya menjadi gundik warga Belanda dan juga membuka usaha serupa, mereka ini rata-rata wanita bekas binaan Nyai Saritem yang dulu sempat menjadi PSK di rumah bordilnya. Semenjak saat itu masyarakat sekitar mengenal lokasi itu dengan sebutan 'Saritem'.
Sumber